Pidato Ghalibaf: Persatuan dan Perjuangan





from:Catatan saya dalam pidato beliau di ICC Jakarta


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Al-Qur’an dan Ahlulbait mengajarkan kita untuk tidak bersikap acuh terhadap sesama manusia, terlebih lagi terhadap sesama Muslim. Hari ini, saudara-saudara kita di Palestina mengalami penderitaan yang luar biasa—syahid karena luka, kelaparan, hingga ledakan tank-tank penjajah. Tragedi ini bukan hanya peristiwa kemanusiaan, tapi ujian keimanan bagi kita semua.
Revolusi Islam mengajarkan kita budaya Al-Qur’an, yang berdiri di atas dua pilar utama:
• Persatuan (وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا) – “Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”
• Menolak Kezaliman dan Tidak Menjadi Pelaku Kezaliman (لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ) – "Kamu tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi."
Dua asas ini bukan sekadar slogan, tapi ajaran yang ditegaskan oleh Imam Khomeini rahimahullah. Beliau pernah menyampaikan dengan sangat tegas:
"Kini hanya ada dua pilihan: Islam Muhammadi yang sejati atau Islam Amerika yang palsu."
Islam yang benar menolak untuk tunduk pada kezaliman. Masyarakat yang mau menzalimi atau menerima kezaliman adalah masyarakat yang telah mati jiwanya.

Pandangan yang memisahkan agama dari urusan sosial dan politik—yang menganggap Islam hanya sebatas ibadah ritual—bukanlah ajaran Islam. Islam tidak pernah mengajarkan keterasingan dari realitas sosial dan politik. Islam hadir untuk menegakkan keadilan dan membela kaum tertindas.

Kita semua menyaksikan kejahatan rezim zionis yang didukung Amerika Serikat—penindasan yang terjadi di depan mata dunia. Karena itulah, melawan kezaliman bukan hanya hak, tapi kewajiban bagi setiap Muslim. Barangsiapa ingin menjadi Muslim sejati, ia harus berdiri bersama yang tertindas.
Kita punya teladan besar: Syahid Qassem Soleimani, seorang pemuda mujahid yang tumbuh dalam didikan Ahlulbait. Seluruh hidupnya diabdikan untuk Islam dan negaranya.

Ketua Parlemen Iran, Bapak Mohammad Bagher Ghalibaf, mengatakan:
"Saya bangga karena selama 14 tahun saya mengenal dan dekat dengan beliau. Tidak pernah saya melihat Syahid Soleimani meninggalkan medan jihad meski hanya sesaat."

Pasca perang Iran-Irak, beliau langsung mengabdikan diri menjaga stabilitas dan keamanan di wilayah Irak dan Suriah. Setelah berhasil di sana, beliau menyaksikan kembali kezaliman besar: zionisme, ISIS, sektarianisme, dan pembantaian lintas agama—termasuk terhadap kaum Nasrani.
Ketika ia mengajak untuk bangkit melawan Israel, banyak yang menjauh, memilih diam, dan tak ingin terlibat.
Namun, jiwa Soleimani telah dibentuk oleh budaya perlawanan Islam. Ia yakin akan datang saatnya pertolongan Allah, dan bahwa sunnatullah akan adanya orang orang yang akan membebaskan kaum tertindas.

"زلزل زلزالا شديدا"
"Guncangan besar pasti akan datang. Kaum Mukmin akan menang, dan orang-orang munafik akan terguncang hebat."
Jika kita ingin Islam bangkit kembali dan umat ini punya harga diri, maka syaratnya dua: menjaga persatuan, dan menolak segala bentuk kezaliman.
"Islam tanpa muqawamah terhadap kezaliman, bukanlah Islam."
Dan yang akan menghidupkan kembali Islam bukan hanya pemimpin, tetapi rakyat yang sadar dan siap mengambil peran dalam persatuan dan perlawanan.

Akhir kata, kami berharap hubungan antara bangsa Iran dan Indonesia semakin kokoh, saling menguatkan dalam naungan Al-Qur’an. Semoga dengan itu, kita semakin maju dan meraih kemuliaan di sisi Allah SWT.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar