Di banyak pesantren kita melihat praktik penghormatan yang kuat: santri menunduk, mencium tangan, bahkan mencium kaki—sebuah ekspresi bakti yang tampak sangat menghormati. Di satu sisi, sikap hormat yang tulus kepada guru adalah sesuatu yang indah dan perlu: guru sebagai pewaris ilmu, pembimbing spiritual, dan figur teladan. Namun di sisi lain, ada wacana penting yang harus kita baca: ketika bentuk penghormatan berubah menjadi ritual berlebihan yang menempatkan guru pada posisi hampir tak tersentuh atau hierarki sosial yang kaku, maka muncullah jejak-jejak mentalitas feodal—relasi kuasa yang menegaskan jarak dan kadang menghalangi dialog kritis serta martabat manusiawi.
Konteks dan akar budaya
Praktik fisik seperti jongkok atau mencium kaki sering berakar dari kombinasi:
-Pertama, tradisi lokal yang menegaskan hormat lewat postur tubuh.
-Kedua, nilai agama yang menekankan adab dan penghormatan kepada guru.
-Ketiga, struktur sosial lama—di mana kyai atau guru bukan hanya pendidik, tetapi juga patron: pemegang wewenang ekonomi, sosial, dan simbolik.
Ketika ketiga hal ini bercampur tanpa kontrol, penghormatan yang sehat bisa bergeser menjadi kepatuhan mutlak yang menekan inisiatif santri dan menyuburkan pemikiran feodal: superioritas tak tergoyahkan, pembenaran tindakan guru sekadar karena status, dan lemahnya mekanisme akuntabilitas.
Pengalaman pribadi
Selama di pesantren saya tidak pernah berlebihan dalam menghormati guru; kami cukup mencium tangannya dengan menudukkan kepala sedikit. Rasa hormat yang hakiki bukan pada jongkok tetapi pada hati kita yang menunjukkan penghormatan. Guru-guru pun juga tidak meminta digituin.
Kalimat ini penting karena ia menunjukkan sebuah model penghormatan yang seimbang: tidak menghapus martabat, tetapi memelihara adab; tidak menempatkan guru sebagai makhluk di atas manusia, tetapi mengakui peran mereka dengan penuh rasa hormat.
Landasan agama: larangan ghuluw (berlebihan)
Dalam tradisi Islam juga ada peringatan agar tidak berlebihan dalam memujikan manusia. Salah satu sabda Rasulullah yang sering dikutip adalah:
«لا تُطِروني كما أَطَرَ النّصارى ابن مريم، فأنا عبدُ اللهِ ورسولُه، فقولوا عبدُ اللهِ ورسولُه»
“Janganlah kalian memujiku sebagaimana kaum Nasrani memuji putra Maryam; sesungguhnya aku hanyalah hamba Allah dan Rasul-Nya; katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.”
HR. al-Bukhari, no. 3445
Adapun dari hadis lainnya yaitu, dalam Bihār al-Anwār karya al-‘Allāmah al-Majlisī
قال رسول الله (ص):
«لا ترفعوني فوق حقي، فإنّ الله تبارك وتعالى اتّخذني عبداً قبل أن يتّخذني نبيّاً.»
(بحار الأنوار، ج 16، ص 294)
Terjemahan:
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Janganlah kalian mengangkatku melebihi kedudukanku. Sesungguhnya Allah menjadikanku hamba-Nya sebelum menjadikanku nabi-Nya.”
Maksudnya jelas: jangan menjadikan manusia—bahkan nabi—objek pemujaan yang berlebihan. Prinsip ini relevan juga bila diletakkan pada praktik penghormatan terhadap guru: hormat harus proporsional, tidak berubah menjadi pemujaan atau penyerahan otoritas yang mutlak.
Dampak negatif bila praktik berlebihan dipertahankan berupa:
1. Menutup ruang kritik dan diskusi ilmiah di kalangan santri.
2. Memungkinkan penyalahgunaan wewenang (moral, finansial, atau sosial) karena ketakutan mempertanyakan.
3. Merawat rasa rendah diri sosial pada santri yang bisa bertahan seumur hidup.
Jalan tengah: menjaga martabat dan adab sekaligus menolak feodalisme, bagaimana?
Mari kita tegaskan adab yang berlandaskan niat ikhlas dan martabat manusia
Hormat ditunjukkan dari hati dan perilaku yang sopan—misalnya mencium tangan, menunduk sopan—bukan tindakan yang merendahkan martabat. Jongkok mencium kaki, jika membuat santri merasa hina, harus dikaji ulang.
Dengan demikian, penghormatan kepada guru tetap hidup, tetapi tidak menjelma menjadi budaya feodal. Adab tetap dijaga, sementara kesetaraan manusia di hadapan Allah tetap ditegakkan.[]


Tidak ada komentar:
Posting Komentar