Surah al-Kautsar dan Perjuangan Sayidah Fâtimah al-Zahrâ (ra)


 



 Pembukaan


Bismillâh ir-Rahmân ir-Rahîm.


Dalam taqrir (catatan) ini saya akan memaparkan tulisan saya dari ceramah Syeikh Ali Abbasi yang singkat tetapi sarat makna & manfaat: *Surah al-Kautsar*, penafsiran yang mengaitkannya pada Sayidah Fâtimah al-Zahrâ (ra), serta refleksi sejarah dan sosial yang mengarahkan kita memahami posisi perempuan dalam Islam—antara jahiliyah lama dan bentuk jahiliyah modern yang menyamarkan martabat wanita.


Taqrir disusun sebagai narasi yang runtun dan rapi; cocok untuk dibacakan dalam majelis atau dipelajari secara pribadi.


# 1. Konteks singkat Surah al-Kautsar


Surah al-Kautsar adalah surah pendek yang penuh makna. Dalam struktur teksnya, surah ini menegaskan pemberian Tuhan kepada Nabi Muhammad ﷺ—sebuah anugerah yang tidak sekadar materi, melainkan pembawa berkah yang melanjutkan dakwah dan keturunan yang mulia.


Beberapa mufassir, termasuk yang merujuk pada tafsir amtsal, mengaitkan makna *al-kautsar* dengan keberkahan dan kemuliaan yang terwujud pada sosok Sayidah Fâtimah (ra). Pendekatan ini bukan sekadar alegori; ia menyingkap hubungan personal Nabi ﷺ dengan keluarganya yang melanjutkan ajaran dan peradaban Islam.



# 2. Menafsirkan kata-kata kunci: *Fasalli*, *Innaâka huwa al-abtar*


*Fasalli*: secara bahasa berarti "beribadah"; dalam konteks surah, ia meliputi shalat dan juga manifestasi syukur—termasuk pengorbanan (qurban) sebagai bentuk ungkapan terima kasih atas anugerah.


*Innaâka huwa al-abtar*: kalimat ini menepis celaan musuh yang menuduh Nabi ﷺ sebagai "abtar" (tanpa keturunan/terputus). Ayat penutup surah secara tegas menjadi bantahan: bukan Nabi yang terputus, melainkan pihak yang memusuhi dan mengolok yang akan kehilangan kelanjutan—sebuah janji tentang kesinambungan dakwah dan warisan spiritual Nabi ﷺ.



# 3. Surah ini dan Sayidah Fâtimah: hubungan maknawi


Beberapa riwayat dari tradisi Ahlus Sunnah maupun Syi'ah menyatakan bahwa makna *al-kautsar* berkenaan langsung dengan kelahiran dan kedudukan Sayidah Fâtimah. Dalam perspektif ini, Fâtimah bukan sekadar anak biologis, melainkan simbol kelanjutan moral, spiritual, dan sosial yang melampaui hinaan jahiliyah.


Melalui beliau, Nabi ﷺ memperoleh pewaris nilai dan keteguhan yang meneruskan dakwah—sehingga klaim bahwa Nabi terputus dari keturunan menjadi jelas runtuh.


---


# 4. Kritik terhadap dua bentuk jahiliyah: qadim dan modern


- 4.1 Jahiliyah qâdim (kuno)


Masyarakat jahiliyah lama memandang rendah kelahiran anak perempuan. Terdapat tradisi memendam anak perempuan hidup-hidup atau menghina keberadaannya—sebuah mentalitas yang menolak martabat wanita secara inheren.


- 4.2 Jahiliyah modern


Bentuk kontemporer dari jahiliyah bukan lagi sekadar malu memuliakan perempuan; ia memanfaatkan tubuh perempuan sebagai komoditas. Tubuh perempuan dijadikan tontonan, alat pemasaran, dan komersialisasi—hingga eksploitasi menjadi norma terselubung. Ini adalah jahiliyah yang menyamar dengan bahasa kebebasan: membuka ruang publik bagi penayangan tubuh alih-alih fikiran, moral, dan kontribusi intelektual perempuan.


Dampaknya: hilangnya penghormatan, meningkatnya kerentanan sosial, dan terjadinya keluarga-keluarga yang rapuh—lebih dari 60% anak tumbuh tanpa bingkai ayah/ibu yang jelas (catatan statistik lokal mungkin berbeda-beda; namun fenomena keluarga terpecah ini nyata dan memprihatinkan).


# 5. Posisi Islam tentang martabat dan hak perempuan


Islam, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan khususnya oleh teladan Sayidah Fâtimah, menempatkan perempuan dalam posisi bermartabat dan penuh hak:


* Perempuan berhak memiliki harta, mengelolanya, dan tidak boleh diambil oleh suami tanpa izin.

* Perempuan berhak terlibat dalam urusan publik, akademis, dan ekonomi—dengan syarat menjaga kehormatan dan batas moral terjaga.

* Penilaian derajat bukan karena gender; al-Qur'an selalu menyandingkan laki-laki dan perempuan dalam ayat-ayat yang memuji ketaatan dan amal saleh: *mu'minîn wa mu'minât, dhâkirîn wa dhâkirât, shâdiqîn wa shâdiqât, sâbirîn wa sâbirât, hafizhîn wa hafidhât*—semua berdampingan dalam klasifikasi akhlak dan amal.


Dengan demikian, Islam membolehkan perempuan menjadi ilmuwan, pedagang, penggerak sosial, bahkan pembela haq ketika situasi menuntut—tetapi yang ditonjolkan adalah akal, pemikiran, dan integritasnya, bukan tubuhnya sebagai komoditas.


# 6. Teladan Sayidah Fâtimah: karya hidup dan perjuangan


Sayidah Fâtimah al-Zahrâ (ra) menampilkan satu paket keutamaan: iman, ilmu, ibadah, serta pengorbanan. Dalam kehidupan nyata beliau:


1. *Membela suami dan mempertahankan hak keluarga*: Beliau berdiri membela Amirul Mukminîn (Ali) ketika situasi politik menuntut, menunjukkan keberanian yang seringkali melebihi reaksi kaum laki-laki yang enggan tampil.

2. *Menjaga anak-anak dan kesinambungan keluarga*: Peran maternal beliau bukanlah pengorbanan pasif; ia adalah ruang produktif bagi pendidikan karakter dan iman generasi penerus.

3. *Turut hadir di ruang publik saat darurat*: Saat ketidakadilan mengancam, beliau turun berbicara di masjid—memperingatkan umat akan bahaya dan menyeru mereka untuk menjauhi kedzaliman.


Perjuangan beliau, sebagaimana tercatat dalam riwayat, bukan sekadar simbol; beliau adalah tindakan konkret yang mengilustrasikan bagaimana perempuan berperan aktif mempertahankan nilai dan hukum Islam.



7. Kisah akhir hidup beliau: duka, wasiat, dan tanda kezaliman


Di akhir hayatnya, Sayidah Fâtimah meninggalkan wasiat yang penuh makna: instruksi tentang pengaburan dan pemandian yang bersifat tertutup. Imam Ali menjalankan wasiat tersebut dengan penuh kehati-hatian—meminta agar anak-anak menahan tangis supaya tetangga tidak mendengar. Saat memandikan jasad beliau, Imam Ali merasakan patahnya beberapa tulang rusuk—sebuah gambaran duka yang menandai betapa penderitaan keluarga Nabi dan Ahlul Bait tidaklah ringan.


Ucapan penutup yang mengusung kecaman atas para zalim terdengar: *"Alaa laknatullâh 'alaa al-zâlimîn"* — semoga laknat menimpa para pelaku kezaliman.


8. Refleksi teologis dan moral


Surah al-Kautsar—meskipun singkat—membawa pesan bahwa kelanggengan dakwah Nabi ﷺ tidak tergantung pada fitnah atau hinaan kaum musuh. Justru mereka yang mencemooh dan memutus akan menjadi terputus arah dan pengaruhnya.


Dalam konteks sosial, kita diajak membaca dua hal sekaligus:


1. *Menghormati martabat perempuan* sebagai bagian integral dari peradaban Islam, sebagaimana dicontohkan oleh Sayidah Fâtimah.

2. *Melawan bentuk jahiliyah modern*yang mereduksi perempuan menjadi barang tontonan; memperjuangkan kebijakan sosial, ekonomi, dan budaya yang melindungi kehormatan dan hak-hak mereka.


 9. Penutup: Seruan dan wasiat dakwah

Hendaknya pembaca dan pendengar mengambil pelajaran: memperkokoh keluarga, menjaga hak perempuan atas harta dan kehormatan, serta memberi ruang bagi keterlibatan perempuan dalam ranah ilmiah dan sosial—dengan prinsip bahwa yang ditonjolkan adalah pemikiran dan karya, bukan tubuh.

Dan sebagai penutup, kita renungkan ancaman Ilahi bagi para pelaku zalim:

 وسَيَعْلَمُونَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ أَىَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ

Surah Asy-Syu'ara (Ash-Shu'ara) ayat 227.

Semoga taqrir (catatan) ini bermanfaat, menjadi pengingat dan motivasi untuk membela kebenaran, memuliakan martabat perempuan dan senantiasa membela kebenaran, walau kebenaran tersebut pahit & menyakitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar